CERITA DI BALIK REFORMASI PERPAJAKAN
CERITA DI BALIK REFORMASI PERPAJAKAN
Reformasi Perpajakan
Jilid I : Lolos dari Jurang Kegagalan
Melihat kondisi
reformasi perpajakan saat ini, perlu sekali untuk menoleh ke belakang.
Reformasi Perpajakan Jilid I ini bisa disebut dengan Moderenisasi Administrasi
Perpajakan yang dimulai tahun 2000-2001. Penyebabnya adalah krisis keuangan
Asia yang menghantam Indonesia. Pertumbuhan ekonomi menjadi minus. Kurs dolar
Amerika Serikat jika di rupiahkan dari Rp 2.500,00 menjadi Rp 17.000,00. Sampai
ada dititik, pemerintah tidak bisa membayar hutangnya termasuk pinjaman
bilateral ke Jepang atau multilateral seperti Lembaga Asian Development Bank
dan Bank Dunia. Salah satu jalan keluarnya adalah restrukturisasi utang oleh
peminjam, tetapi dengan syarat harus ada rekomendasi dari IMF. Pada akhirnya
menandatangani Letter of Intent dengan IMF.
Sebelum
Modernisasi, KPP mengorganisasi diri berdasar jenis pajak. Setiap seksi
melakukan fungsi penuh, misalnya seksi Pajak Penghasilan (PPh) Badan melakukan
administrasi dari pendaftaran Wajib Pajak Badan, menerima SPT PPh Badan hingga
mengawasi pembayaran PPh Badan tanpa memperhatikan jenis pajak lainnya.
Reformasi Perpajakan
Jilid II : Tembus Seribu Triliun
Reformasi
Perpajakan Jilid I berakhir di era terjadinya krisis finansial global serta
melabungnya harga komoditas pada 2008. Pada tahun itu pula, DJP mencatat
prestasi penerimaan pajak melampaui target, yaitu 106,7% atau surplus sekitar
Rp 37 triliun dari terget Rp 535 triliun. Faktor penyebab tercapainya
penerimaan tersebut adalah keberhasilan program Sunset Policy. Program yang
diluncurkan pada 2008 ini adalah kebijakan waib pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu. Saat adanya kesempatan itu, masyarakat umum diberikan kesempatan
untuk mendaftar NPWP tanpa harus melewati proses pemeriksaan yang berbelit.
Saat itu, jumlah wajib pajak yang melonjak drastis memerlukan perbaikan pada
fungsi pelayanan DJP. Awal 2008, layanan Kring Pajak 500200 mulai beroperasi
Kembali untuk menjawab dan mengadminsitrasikan berbagai pertanyaan, keluhan
maupun pengaduan wajib pajak.
Tahun 2015, DJP
mengemban amanah target penerimaan sebesar Rp 1.295 triliun di tengah kondisi
angka kepatuhan pajak yang masih rendah. Disisi lain, ada potensi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang belum tersentuh dan terdapat data dari eksternal. Data ini
berasal dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), OJK, Bank
Indonesia, Badan Pertahanan Nasional, serta Kementrian dan Lembaga. Joko Widodo
sebagai Presiden RI tahun 2015 mencanangkan Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP).
Dengan adanya kebijakan ini, wajib pajak didorong untuk menyampaikan SPT,
membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam SPT serta melakukan
pembetulan SPT.
Reformasi Perpajakan
Jilid III : Keinginan Menjadi Lebih Baik.
Reformasi
perpajakan tidak akan pernah berhenti dan akan terus berkelanjuan mengikuti
kemajuan ekonomi, perkembangan bisnis dan diikuti oleh perkembangan teknologi
yang semakin canggih. Dalam UU Pengampunan Pajak disebutkan bahwa program
amnesti pajak harus diikuti dengan reformasi di bidang perpajakan. Namun,
situasi yang terjadi adalah kepatuhan wajib pajak rendah dan kemapuan
infrastruktur untuk mendeteksi wajib pajak juga rendah.
Perbaikan
regulasi dan sistem administrasi perpajakan, maka diharapkan tujuan reformasi
dapat tercapai, yaitu mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan
akuntabel. Reformasi Perpajakan Jilid III dilatarbelakangi karena adanya
perlambatan ekonomi global yang diakibatkan oleh Trump Effect, perlambatan
ekonomi Tiongkok, tingkat bunga negatif, dan kenaikan suku bunga tinggi.
Terkait dengan
perbaikan regulasi, DJP melakukan revisi terhadap UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh) serta Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Adapun
pada sistem administrasi perpajakan, DJP akan membangun basis data, Sistem Inti
Administrasi Perpajakan, dan sistem pendukung operasional administrasi
perpajakan yaitu organisasi dan Sumber Daya Manusia.
Saat pandemi
Covid-19 datang mengubah semua prioritas regulasi. Pemerintah menerbitkan
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2020
terkait kebijakan dan keuangan negara dalam penanganan pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19). Pajak berubah seperti tarif pajak turun dan pajak
transaksi digital mulai ditangani dengan serius dan dapat digunakan oleh wajib
pajak maupun masyarakat.
Dalam kebijakan
yang terbit pada tahun 2018 itu terjadi pemangkasan tarif PPh Final yang sebelumnya
1% menjadi 0,5% bagi wajib pajak yang memiliki usaha dengan omzet sampai dengan
Rp 4,8 miliar per tahun. Tarif PPh Final tentunya menjadi lebih meringankan
wajib pajak bagi pelaku UMKM. Harapannya pelaku UMKM akan mendapatkan tambahan
simpanan modal yang digunakan untuk mengembangkan usahanya di masa pandemi. DJP
meluncurkan sistem penerapan pengawasan kepatuhan wajib pajak berbasis risiko
atau Compliance Risk Management (CRM).
Adanya pandemi
Covid-19 pemerintah mulai mengupayakan pemulihan ekonomi melalui program
Pemulihan Ekonomi Nasional. Yang tujuannya untuk mempertahankan dan
meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha sektor riil dan keuangan dalam
menjalankan usahanya. Terdapat tiga kebijakan yang dilakukan pemerintah yaitu :
1. Meningkatkan
konsumsi dalam negeri,
2. Meningkatkan
aktivitas dunia usaha, dan
3. Menjaga
stabilitas ekonomi dan ekspansi moneter.
Untuk informasi lebih lanjut dapat diakses dan didownload dilaman berikut :
Komentar
Posting Komentar