Perbedaan antara PBB-P2 dan PBB-P3 Serta Rumus Perhitungan PBB-P2 dan PBB-P3

 



Perbedaan antara PBB-P2 dan PBB-P3

Serta Rumus Perhitungan PBB-P2 dan PBB-P3

 


Munculnya pandemi Covid-19  tidak hanya menjadi pukulan keras terhadap perekonomian pemerintah, tetapi juga perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus sigap memberikan stimulus. Sehingga pemerintah daerah turut ambil peran dengan memberikan berbagai insentif pajak daerah untuk meringankan beban masyarakat.

Salah satu insentif pajak daerah untuk sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bentuk insentif yang diberikan mulai dari pembebasan denda pajak hingga diskon pokok utang pajak. Tetapi, keringanan pajak dari pemerintah daerah ditunjukan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan dan perkotaan atau dikenal dengan PBB-P2. Keringan tersebut tidak berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan atau PBB-P3.

Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB merupakan pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan. Pajak ini muncul karena ada kepemilikan hak, penguasaan, atau perolehan manfaat atas suatu bumi atau bangunan.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) menjelaskan yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Lalu, berdasarkan pejelasan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Sedangkan, menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatka secara tetap pada tanah dan perairan. Yang termasuk dalam pengertian bangunan antara lain adalah jalan tol, dermaga, pagar mewah, dan kolam renang.

Secara garis besar terdapat lima sektor Pajak Bumi dan Bangunan antara lain, sebagai berikut :

·         Sektor Perdesaan

·         Sektor Perkotaan

·         Sektor Perkebunan

·         Sektor Perhutanan

·         Sektor Pertambangan

Sebelum ada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Derah (UU PDRD), semua sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut pemungutannya menjadi wewenang pemerintah pusat. Tetapi, setelah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) disahkan. Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah pusat untuk PBB-P3 dan pemerintah daerah untuk PBB-P2.

Menurut Pasal 1 angka (37) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Pajak , PBB-P2 merupakan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.

 

Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak  dari PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang ada di wilayah perdesaan dan perkotaan. Misalnya  rumah, rumah susun, hotel, apartemen, sawah, tanah kosong, dan pabrik. Sedangkan objek pajak dari PBB-P3 adalah perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya. Sektor lainnya meliputi budidaya ikan, kabel telekomunikasi, perikanan tangkap, kabel llistrik, jala tol dan jaringan pipa.

 

Tarif Pajak

Menurut Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Pajak (UU PDRD), tarif maksimal untuk PBB-P2 adalah 0,3% . Tarif ini dapat bervariasi tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat. Sedangkan, menurut Pasal 5 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), PBB-P3 mempunyai tarif tunggal 0,5%.

 

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdapat batas nilai yang tidak dikenakan pajak yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Pada Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menyebutkan besarnya nilai NJOPTKP untuk PBB-P2 ditetapkan paling rendah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Sedangkan, pada Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 23/PMK.03/2014 nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) untuk PBB-P3 ditetapkan sebesar RP. 12.000.000 (dua belas juta rupiah).

 

Nilai Jual Kena Pajak

Pada dasar perhitungan PBB-P2  tidak ada unsur Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang merupakan suatu persentase dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Sedangkan, pada dasar perhitungan dasar PBB-P3 mengenal adanya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).  Menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditentukan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP ). Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 ditetapkan objek pajak PBB sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % dari Nilai Jual Objek Pajakn (NJOP). Sedangkan , untuk objek pajak sektor lainnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) apabila Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-nya mencapai Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) atau lebih. Untuk objek pajak sektor lainnya dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan 20%.

 

Rumus Perhitungan PBB-P2 dan PBB-P3

·         Rumus Perhitungan PBB-P2

PBB-P2 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak

              = Tarif x (NJOP Bumi + NJOP Bangunan – NJOPTKP)

 

·         Rumus Perhitungan PBB-P3

PBB-P3 = Tarif x NJKP x (NJOP – NJOPTKP)

              = 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP) atau

              = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP)


PBB-P2 merupakan pajak yang diproses administrasinya dilakukan pemerintah pusat tapi seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Tetapi, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, maka paling lambat per 1 Januari 2014 seluruh proses pengelolaaan PBB-P2 akan dilakukan pemerintah daerah.

Terdapat 4 alasan pokok dan dasar pemikiran dari pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah (Kementerian Keuangan, 2014).

1.      Berdasarkan teori, Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),dan terdapat hubungan erat antara pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-link principle).

2.      Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta memperbaiki struktur APBD.

3.      Guna meningkatkan pelayanan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2).

4.      Menurut praktik di banyak negara, Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) atau property tax termasuk dalam jenis pajak daerah (lokal tax).


Menurut Pasal 180 angka 5 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerag (UU PDRD), masa transisi pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) menjadi pajak daerah sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2013. Selama dalam masa transisin tersebut, daerah yang telah siap untuk segera melakukan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) terlebih dahulu menetapkan peraturan daerah (perda) tentang Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) sebagai dasar hukum pemungutan.

Sedangkan, daerah yang belum menetapkan peraturan daerah (perda) Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) tidak boleh memungut Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Berarti, waktu semua pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) sepenuhnya diselenggarakan pemerintah daerah paling lambat tanggal 1 Januari 2014.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UMARA TAX CONSULTING

PENEGASAN TENTANG PPh ATAS JASA PEMAKAIAN GUDANG/LAPANGAN PENUMPUKAN DI LINGKUNGAN PELABUHAN

Fresh from the Oven! PMK 168/2023