Penjelasan Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan “BPHTB"
Penjelasan Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
“BPHTB"
Banyaknya
pembangunan di segala bidang membuat kebutuhan akan tanah dan bangunan terus
meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan transaksi jual beli tanah
dan bangunan sebagai suatu kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat.
Tanah memang
sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha.
Tanah merupakan salah satu alat investasi yang menguntungkan. Sedangkan, bangunan
yang dibangun di atas tanah juga membarikan manfaat ekonomi untuk pemiliknya.
Dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, negara
membutuhkan sumber pendanaan yang salah satunya bersumber dari pajak. Oleh
karena itu, jika pemilik yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan
menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya ke pemerintah. Dalam hal
penyerahan ini dilakukan melalui pembayaran pajak yang disebut BPHTB.
Pengertian
BPHTB
Menurut pada Pasal
1 angka 41 Undang-Undang 28/2009, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak ini adalah peristiwa atau perbuatan hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan. Bea Peolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) adalah jeni pajak kabupaten/kota yang batu diterapkan
berdasarkan Undang-Undang No. 28/2009. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) sebelumnya termasuk dalam pajak pusat tetapi hasilnya sebagian
besar diserahkan kepada daerah. Tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang 28/2009
kewenangan dalam pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dialihkan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Adanya pengalihan
tersebut daerah dapat sepenuhnya memperoleh hasil dari penerimaan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam hal ini sangat menguntungkan
terutama pemerintah daerah kabupaten/kota yang pertumbuhan usaha propertinya
tinggi. Tetapi, pengenaan Bea Peolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
tidak mutlak pada seluruh daerag kabupaten/kota. Karena hal ini, berkaitan
dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menggunakan
atau tidak menggunakan suatu jenis pajak daerah.
Objek
BPHTB
Objek Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan. Dalam perolehan tersebut diantaranya dapat berasal dari
pemindahan hak karena jual beli, hadiah, penunjukan pembelian dalam lelang,
peleburan usaha, dan pemekaran usaha. Jenis hak dasar menjadi objek Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) meliputi hak guna usaha, hak
milik, hak guna bangunan, hak milik atas satuan rumah susun, hak pakai, dan hak
pengelolaan. Meskipun memiliki cakupan objek pajak luas, tidak semua perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Ada 6 pihak yang atas perolehan hak
tanah dan/atau bangunan yang tidak dikenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) antara lain, sebagai berikut :
1.
Perwakilan diplomatik,
konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik.
2.
Negara untuk penyelenggaraan
pemerintah atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
3.
Badan atau perwakilan
organisasi internasional yang diterapkan Menteri Keuangan.
4.
Badan atau orang pribadi
karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
5.
Karena wakaf atau
warisan.
6.
Untuk digunakan
kepentingan ibadah.
Subjek
BPHTB
Subjek pajak dan
wajib pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam hal
ini, berarti pungutan ditanggung oleh pembeli tanah dan/atau bangunan. Bukan
berarti hanya pembeli yang dibebani pajak. Penjual sebagai pihak yang
memperoleh penghasilan juga dikenakan pajak tapi dalam bentuk Pajak Penghasilan
(PPh). Dengan begitu, pihak penjual dan pembeli sama-sama memiliki tanggung
jawab untuk membayar pajak.
Tarif
BPHTB
Tarif Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditetapkan dengan peraduran
daerah kabupaten/kota paling tinggi 5%. Dengan begitu, setiap daerah
kabupaten/kota diberikan kewenangan dalam menetapkan besarnya tarif Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang mungkin berbeda dengan
daerah yang lain, asalkan tidak lebih dari 5%. Besaran pokok pajak Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang dihitung dengan
mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) merupakan nilai pengurangan Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) sebelum dikenakan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Untuk besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan dengan peraturan daerah dan dapat berbeda pada setiap daerah. Tetapi, berdasarkan pada Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang 28/2009 besaran untuk Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah senilai Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Namun, apabila perolehan hak tersebut berasal dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki hubungan keluarga sedarah dalm garis keturunan lurus satu derajat ke bawah, termasuk istri, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah senilai Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Berikut adalah contoh Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan :
Komentar
Posting Komentar